Mukadimah
Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan
menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup
sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu
sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan
banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana
yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli,
utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung
orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah
untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan
sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang
shahih bahwa Nabi bersabda,
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya
kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga.
Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya
ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan
karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke
neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya
ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”
Definisi Jujur
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan
yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka
dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu
ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan
suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang
berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam
batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang
yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid,
padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah : secara
lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia
menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman,
sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran)
dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara
kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah
mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu
menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)
Keutamaan Jujur
Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena
kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya
kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”
Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna
kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.
Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan,
dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut.
Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya,
seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari
segala keburukan.
Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana
disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau
bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi
mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan
mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual
beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa
yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus
keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang
nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain,
rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk
bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan
kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia
dan akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang
lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram
dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman,
apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan
alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.
Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak
dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan,
kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara
pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan
kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran
maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara,
menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar),
membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian
manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya.
Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan
manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama.
Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya,
zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk
Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat.
Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan
kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam
kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman
dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah
penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang
sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan
kepada orang yang berhak.
Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak
mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan
untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling
besar.” (QS. al-Maidah: 119)
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit
pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah,
niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”
(QS. Muhammad: 21)
Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada
yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan
kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”
Macam-Macam Kejujuran
- Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
- Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
- Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan
seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan
membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini
adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau
dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah
berfirman,
“Dan di antara mereka ada
orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan
sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah
kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada
mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan
berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi
(kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
- Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”
- Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang
yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras.
Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya
secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya
sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu
kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap
kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur,
tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah
menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain
mengetahuinya.
Khatimah
Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya
ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah
memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya
berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,
“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku,
masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara
keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang
menolong.” (QS. al-Isra’: 80)
Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon
kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi
orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS.
asy-Syu’ara’: 84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah
tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga
balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan
tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang
telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka
itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)
Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak
dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran
serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.
Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir
(penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik
(orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan
kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan
dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir
dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari
Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)
Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa
besar, sebagaimana firman Allah,
“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada
orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang
disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu
apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi
amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman:
32)
Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan
kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah
besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita
untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian
jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala
sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu
A’lam.
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang
kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang
yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka
kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat
baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk
yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)
Referensi:
- Makarimul-Akhlaq, karya Syakhul-Islam Ibn Taimiyah ; cet. Ke-1. 1313 ; Dar- alkhair, Bairut, Libanon.
- Mukhtashar Minhajul-Qashidin, karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Maktabah Dar Al-Bayan, Damsiq, Suria.
- Mukhtarat min Al-Khutab Al-Mimbariah, karya Syaikh Shalih ibn Fauzan ; cet. Ke – 1, Jam’iayah Ihya’ At-Turats Al-Islamy.
- Syarh Riyadhus As-Shalihin, karya Syaikh Mahammad ibn Shalih Al-Utsaimin ; cet – 1 ; Dar- Wathan, Riyadh, KSA.
(Diambil dari majalah Fatawa)
***
Imam Muslim dalam Shahihnya membawa sebuah atsar dari Yahya bin Abi Katsir,
لاَ يُسْتَطَاعُ العِلْمِ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Tidaklah didapatkan
ilmu dengan jasad yang santai.”
Maka ini seolah-olah
menjadi sebuah kaidah bahwa barangsiapa yang menginginkan untuk Allah Azza
wajalla memberikan kepadanya ilmu agama hendaknya ia tidak bersantai diri,
karena semua membutuhkan perjuangan.
Jujur
Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan
dunia. Kehidupan dunia tidak akan baik, dan agama juga tidak bisa tegak di atas
kebohongan, khianat serta perbuatan curang. Berbahagialah orang-orang yang
jujur. Semoga Allah dengan karunia dan rahmatNya, menjadikan kita termasuk
orang-orang yang jujur. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Dermawan dan
Maha Pemurah.
Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan
dunia. Kehidupan dunia tidak akan baik, dan agama juga tidak bisa tegak di atas
kebohongan, khianat serta perbuatan curang.
Jujur dan mempercayai kejujuran, merupakan ikatan yang kuat
antara para rasul dan orang-orang yang beriman dengan mereka. Allah berfirman.
وَالَّذِي جَآءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ لَهُم مَّايَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَآءُ
الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. Mereka memperoleh apa
yang mereka kehendaki pada sisi Rabb mereka. Demikianlah balasan orang-orang
yang berbuat baik”. [Az zumar:33-34].
Karena (tingginya) kedudukan perbuatan jujur di sisi Allah,
juga dalam pandangan Islam serta dalam pandangan orang-orang beradab dan juga
karena akibat-akibatnya yang baik, serta bahaya perbuatan bohong dan
mendustakan kebenaran; saya ingin membawakan naskah ini. Saya ambil dari Al
Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejarah beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejarah dan kenyataan hidup orang-orang jujur
dari kalangan shahabat Rasulullah. Dan hanya kepada Allah, saya memohon agar
menolong dan memberikan taufiq kepada saya dalam menyampaikan nasihat dan
penjelasan kepada kaum muslimin semampu saya. Dan saya memohon kepada Allah,
agar Ia menjadikan kita orang-orang jujur yang bertekad memegang teguh
kejujuran, serta menjadikan kita termasuk orang orang yang cinta kebenaran,
mengikutinya serta mengimaninya. Karena keagungan nilai dan kedudukan perbuatan
jujur di sisi Allah dan di sisi kaum muslimin, Allah menyifatkan diriNya dengan
kejujuran (benar-pent). Allah berfirman.
قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَاكَانَ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:”Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Maka
ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
musyrik”. [Ali Imran :95]
Ini adalah pujian dari Allah untuk diriNya dengan sifat
agung ini. Allah jujur (benar-pent) dalam semua beritaNya, syari’ahNya, dalam
kisah-kisahNya tentang para nabi dan umat-umat mereka. Allah berfirman.
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ حَدِيثًا
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada
Allah”. [An Nisa:89].
وَعْدَ اللهِ حَقًّا وَمَنْ أَصْدَقُ مِّنَ اللهِ قِيلاً
“Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah
yang lebih benar perkataannya daripada Allah”. [An Nisa :122].
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
“Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan
mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”. [Al An’am:146].
Demikianlah Allah menyifatkan diriNya dengan sifat agung
ini. Dia jujur dalam ucapan, perbuatan, janji, ancaman dan jujur dalam
pemberitaan tentang kehidupan para nabi dan para wali-waliNya serta Allah jujur
dalam pemberitaan tentang musuh-musuhNya yang kafir.
Allah juga menyifatkan para nabiNya dengan sifat jujur.
Lalu Dia mendukung para nabi itu dengan mukjizat dan tanda-tanda agung sebagai
bukti kejujuran (kebenaran) mereka, dan untuk menghancurkan kebohongan para
musuh Allah.
Diantara bentuk dukungan terbesar Allah kepada para nabi,
ialah pemusnahan musuh-musuh Allah dengan topan, angin ribut, petir, gempa
bumi, ada yang di tenggelamkan ke tanah dan air. Sementara para nabi dan
pengikut mereka diselamatkan. Semua ini merupakan bukti dari Allah atas
kejujuran para nabiNya, bahwa mereka benar utusanNya dan (sebagai) penghinaan
kepada musuh Allah dan musuh para rasul.
Diantara para nabi yang disifati dengan sifat jujur dalam
Al Qur’an, yaitu: Ibrahim, Ismail dan Idris. [1] Allah menyifatkan mereka
dengan sifat jujur. Ini menunjukkan kokohnya sifat itu pada diri mereka. Dan
bahwasanya perkataan, perbuatan, janji serta perjanjian-perjanjian mereka,
semuanya tegak di atas kejujuran.
Semua ayat dalam Al Qur’an, yang dengannya Allah menantang
manusia dan jin untuk membuat yang serupa dengannya -namun mereka tidak bisa-
merupakan bukti terbesar atas kejujuran Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa dia benar-benar Rasulullah dan penutup para nabi. Dan persaksian Allah
bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam penutup para nabi, juga merupakan
bukti besar atas kejujurannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak ada
seorangpun yang mengaku menjadi nabi setelah beliau, kecuali pasti Allah Azza
wa Jalla membuka kedoknya dan menyingkapkan aib serta kebohongannya. Bahkan
tidak ada seorangpun yang berdusta atas nama beliau dengan membawakan sebuah
perkataan yang disandarkan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan
pasti Allah membuka kedoknya dengan penjelasan para pengikut risalahnya yang
jujur, yaitu para ahli hadits dan yang lainnya.
Allah berfirman, dalam memujinya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan kebenaran serta kejujuran yang beliau bawa.
بَلْ جَآءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
“Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran
dan membenarkan raul-rasul (sebelumnya)”. [As Shaffat:37].
Kedudukan yang tinggi ini, Allah Azza wa Jalla berikan
kepada hamba sekaligus rasulNya ; Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla juga menerangkan sifat hamba-hambaNya
yang beriman, yang jujur dalam keimanan, perbuatan, perjuangan dan
perjanjian-perjanjian mereka.
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertaqwa”. [Al Baqarah:177].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ
أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar”. [Al Hujurat:15].
Allah juga berfirman memuji Muhajirin yang faqir dan semua
sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Mereka) merupakan orang-orang
jujur ; Anshar ataupun Muhajirin.
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ
وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللهَ
وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Bagi para fuqara yang
berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)
mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan
Rasul-Nya.Mereka itulah orang-orang yang benar”. [Al Hasr : 8].
Dan sungguh semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mendapat pengakuan dan pujian dari Allah dalam Al Qur’an. Mereka
juga dipuji oleh Rasulullah n dalam banyak hadits.
Diantara sifat mereka yang paling nampak dan jelas ialah
kejujuran. Agama tidak akan bisa tegak, begitu juga dunia tidak akan baik,
kecuali dengan sifat ini. Para shahabat yang jujur ini serta para pewaris
mereka telah menyampaikan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya kepada kita dengan
penuh kejujuran serta amanah.
Para ulama juga menukilkan buat kita sejarah kehidupan para
sahabat Radhiyallahu anhum, perlombaan mereka dalam kebaikan dan kebaikan
mereka (lainnya) yang mengungguli semua umat. Jadilah mereka umat terbaik yang
dikeluarkan untuk manusia.
Kita sudah faham pujian Allah kepada mereka secara umum
dengan sifat-sifat terpuji. Diantaranya adalah kejujuran. Dan makalah saya ini,
tidak akan cukup untuk menyebutkan semua hadits shahih tentang fakta-fakta
kejujuran mereka. Namun saya akan menyebutkan kisah tiga orang shahabat sebagai
contoh. Kisah mereka terkumpul dalam satu kejadian. Dan sahabat yang paling
menonjol diantara tiga orang tersebut adalah Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu ‘anhu
; seorang sahabat yang diselamatkan dari neraka, kemunafikan, murka Allah dan
murka RasulNya berkat kejujurannya. Kisah sahabat ini sudah sangat terkenal.
Haditsnya juga masyhur dan panjang. Karena keterbatasan tempat, saya akan
memilih dan menyampaikan potongan-potongan hadits ini, yang menunjukkan
kedudukan sahabat ini beserta temannya dalam peristiwa ini, supaya kaum
muslimin bisa mengambil pelajaran dan contoh dari para sahabat yang jujur ini.
Kisahnya sebagai berikut.
Pertama. Dari
Abdullah bin Ka’ab, beliau berkata: Saya mendengar Ka’ab Bin Malik menceritakan
kisahnya ketika tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Ka’ab berkata,”Sebenarnya
saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah dalam satu peperanganpun, kecuali
perang Tabuk. Hanya saja, saya pernah tidak ikut perang Badr, namun pada saat
itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela siapapun yang tidak
ikut. Karena Rasulullah keluar hanya untuk meghadang kafilah (kelompok dagang)
Quraisy, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertemukan mereka dengan musuhnya
tanpa terduga. Dan sungguh saya telah ikut menyaksikan Bai’atul ‘Aqabah bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kami berbai’at untuk Islam, dan
saya tidak suka malam ’Aqabah itu disamakan dengan perang Badr, walaupun perang
ini lebih sering diingat oleh manusia. Dan pengalamanku ketika tidak ikut
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk, bahwasanya saya
belum pernah merasa lebih kuat dan lebih mampu dibandingkan keadaan saya
sewaktu tidak ikut perang ini. Demi Allah, saya tidak pernah menyediakan dua
kendaraan untuk berperang, kecuali menjelang perang Tabuk ini. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berperang dalam musim yang sangat panas dan
akan menempuh perjalanan yang sangat jauh, serta akan menghadapi musuh yang
sangat besar. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan perintahnya kepada kaum muslimin agar mengadakan persiapan perang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada pengikutnya jalur
perjalanan mereka. Dan kaum muslimin yang ikut Rasulullah dalam perang ini
banyak sekali, sehingga tidak mungkin diingat oleh seorang penghafalpun,” Ka’ab
mengatakan,”Sebagian orang yang ingin tidak ikut dalam perang ini menyangka
tidak akan ketahuan, kecuali ada wahyu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan
perang ini pada musim buah, sementara saya lebih cenderung kepada buah-buahan
itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin telah
mengadakan persiapan dan saya ingin pulang untuk persiapan. Kemudian saya
pulang, tetapi saya tidak melakukan apa-apa. Saya berkata dalam hati, “Saya
mampu untuk melakukan itu, jika saya mau.” Keadaan seperti itu terus berlarut
sampai Rasulullah dan kaum muslimin sudah siap untuk berangkat. Keesokan
harinya, Rasulullah dan kaum muslimin berangkat. Sementara saya belum siap sama
sekali. Kemudian saya pulang, tetapi saya tidak juga mempersiapkan diri.
Keadaan itu berlarut terus sehingga berangkatlah semua pasukan. Saya ingin
berangkat menyusul mereka, seandainya saya mau berbuat, namun akhirnya saya
tidak mampu berbuat apa-apa. Setelah Rasulullah berangkat perang, saya sangat
sedih dan kalau keluar rumah, saya tidak mendapatkan seorang yang bisa saya
jadikan panutan, kecuali orang-orang munafik atau orang-orang lemah yang
mendapatkan keringanan dari Allah’.
Dalam potongan kisah ini, terdapat isyarat kedudukan
Baia’tul ‘Aqabah dalam diri Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu ‘anhu. Karena bai’ah
ini (artinya) banyak berfungsi sebagai pondasi yang sangat kokoh, yang
mendasari hijrahnya para sahabat ke Madinah. Mendasari pertolongan dari kaum
Anshar. Yang mendasari tegaknya Daulah Islamiyah. Juga mendasari jihad dan
kekuatan Islam dan muslimin.
Bertolak dari bai’ah ini, peperangan terus meletus,
penghancuran orang yang murtad serta pengiriman bala tentara ke beberapa
penjujur alam untuk membuka mata hati dengan cahaya Islam dan mengeluarkan
mereka dari kegelapan menuju cahaya Islam. Berdasarkan hal-hal ini, Ka’ab bin
Malik menyadari, betapa besar makna Bai’atul Aqabah ini, yang tidak bisa
digantikan.
Ka’ab bin Malik menceritakan sebab absennya pada perang
Tabuk dengan benar, dengan bahasa gamblang penuh kejujuran, keluar dari hati penuh
iman. Berbeda dengan para munafiq pengecut; mereka mencari-cari alasan dusta
yang kemudian disingkap Allah dalam waktu singkat. Allah menyiksa dan
menempatkan mereka di neraka. (Perhatikan beberapa point berikut ini, pent.).
- Dia (Ka’ab bin Malik) menjelaskan dengan gamblang, ketidak ikutannya bukan karena kemiskinan atau karena fisik. Sebelum perang Tabuk, ia pernah ikut beberapa peperangan, padahal kondisinya tidak sebaik ketika perang Tabuk. Dia katakan,“Bahwasanya saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih mampu dibandingkan keadaan saya sewaktu tidak ikut perang ini. Demi Allah, saya tidak pernah menyediakan dua kendaraan untuk berperang, kecuali menjelang perang Tabuk ini.”
- Dia juga menyebutkan beberapa sebab yang mempengaruhi tekadnya untuk jihad, yaitu kondisi yang sangat panas, jarak perjalanan yang jauh terbentang antara Madinah dan Tabuk, serta jumlah pasukan Romawi dan orang Arab yang bersekutu dengan Romawi.
- Ka’ab juga menjelaskan faktor yang mungkin paling penting dari faktor absennya, yaitu baiknya musim buah. Kemudian beliau menjelaskan sesuatu yang sangat mungkin disembunyikan, namun jiwanya yang jujur menolak kebohongan itu dan menjelaskan,‘saya cenderung kepada buah-buahan itu’, maksudnya hawa nafsunya lebih cenderung kepada buah-buahan. Ini merupakan tingkat kejujuran yang sangat jarang dicapai orang.
- Dia menyebutkan pertarungan jiwanya, antara keinginan menyusul Rasulullah dan para mujahidin dengan keinginan untuk duduk-duduk di bawah naungan rerimbunan dan buah yang baik.
- Akhirnya, ia menceritakan penyesalannya dan perasaan tersiksa yang menimpanya akibat tidak ikut perang. Karena ia tidak menemukan satu panutan pun dalam hal ini, kecuali orang-orang munafiq dan beberapa orang yang mendapatkan keringanan dari Allah. Ini merupakan bukti hatinya yang tanggap dan imannya yang jujur.
Kedua : Kemudian
Ka’ab bin Malik bercerita: Setelah ada berita, bahwa Rasulullah akan datang
dari Tabuk, maka datanglah kesedihan saya dan hampir saja aku berdusta. Lalu
saya berkata dalam hati,”Apa yang bisa menghindarkan saya dari murkanya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam besok?” Saya sudah minta tolong kepada keluargaku
yang cerdas untuk mencarikan alasan. Setelah ada yang mengatakan, Rasulullah
hampir sampai, hilanglah niatku untuk berbohong dan saya yakin, bahwa saya
tidak akan bisa selamat dari murka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
selama-lamanya. Maka saya bertekad untuk berkata sejujurnya.
Pagi harinya Rasulullah datang. Seperti biasanya, jika baru
pulang dari safar, beliau datang ke masjid dan shalat dua raka’at, kemudian
duduk untuk (keperluan) umatnya. Pada saat itu, orang-orang yang tidak ikut
perang datang menyampaikan alasan dan mereka bersumpah. Jumlahnya sekitar 80.
Rasulullah n menerima alasan mereka, membai’at mereka dan memohonkan ampun buat
mereka, serta menyerahkan urusan batin mereka kepada Allah k .
Sewaktu saya menghadap beliau dan mengucap salam, beliau tersenyum sinis seraya berkata,”Kemarilah!” Saya mendekat dan duduk di hadapannya. Beliau bersabda kepada saya,”Apa yang menyebabkanmu tidak ikut? Bukankah engkau telah berbai’at?” Saya menjawab,”Wahai Rasulullah, demi Allah, seandainya saya duduk di hadapan penduduk dunia selain engkau, niscaya saya akan mengemukakan alasan untuk menghindarkan diri dari kemurkaannya, karena saya bisa berdebat. Tetapi demi Allah, saya tahu, seandainya saya berdusta yang membuat tuan ridha dan menerima alasan saya, namun nanti Allah akan memurkai saya lewat tuan. Dan jika saya bercerita sejujurnya, niscaya tuan akan merasa iba pada diri saya. Sungguh saya hanya mengharapkan ampunan dari Allah. Demi Allah, sesungguhnya saya tidak mempunyai alasan. Demi Allah, saya tidak pernah merasa lebih kuat dan mudah (sebelumnya) dibandingkan ketika saya tidak ikut perang bersama Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Orang ini sudah berkata jujur. Pergilah (menunggu) sampai Allah memberikan keputusan tentangmu.” Sayapun berdiri dan pergi.
Sewaktu saya menghadap beliau dan mengucap salam, beliau tersenyum sinis seraya berkata,”Kemarilah!” Saya mendekat dan duduk di hadapannya. Beliau bersabda kepada saya,”Apa yang menyebabkanmu tidak ikut? Bukankah engkau telah berbai’at?” Saya menjawab,”Wahai Rasulullah, demi Allah, seandainya saya duduk di hadapan penduduk dunia selain engkau, niscaya saya akan mengemukakan alasan untuk menghindarkan diri dari kemurkaannya, karena saya bisa berdebat. Tetapi demi Allah, saya tahu, seandainya saya berdusta yang membuat tuan ridha dan menerima alasan saya, namun nanti Allah akan memurkai saya lewat tuan. Dan jika saya bercerita sejujurnya, niscaya tuan akan merasa iba pada diri saya. Sungguh saya hanya mengharapkan ampunan dari Allah. Demi Allah, sesungguhnya saya tidak mempunyai alasan. Demi Allah, saya tidak pernah merasa lebih kuat dan mudah (sebelumnya) dibandingkan ketika saya tidak ikut perang bersama Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Orang ini sudah berkata jujur. Pergilah (menunggu) sampai Allah memberikan keputusan tentangmu.” Sayapun berdiri dan pergi.
Dalam potongan hadits di atas, Ka’ab menyebutkan posisinya
yang baru, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para mujahidin
pulang membawa kemuliaan, kemenangan dan pahala. Manfaat apakah yang diperoleh
Ka’ab dari ketertinggalannya itu, meskipun penyebab tidak ikutnya adalah
(karena) musim buah-buahan? Dan siapakah figur selain orang-orang munafiq dan
kaum muslimin yang lemah? Hati Ka’ab Bin Malik meradang karena rasa menyesal.
Pada saat yang sama, syetan berbicara dan membisikkan
kata-kata bohong. Akan tetapi, berkat karunia Allah dan pemeliharaanNya, (maka)
niat bohong dan kebathilan telah lenyap dari hatinya, karena kelurusan iman dan
keikhlasannya. Lalu Allah membimbingnya ke arah faktor keselamatan terbesar
setelah iman, yaitu kejujuran -terutama ketika (menghadapi) bahaya dan
kejadian-kejadian yang menakutkan.
Dan perkataan Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu ‘anhu : Setelah
ada yang mengatakan, Rasulullah hampir sampai, hilanglah niatku untuk berbohong
dan saya yakin, bahwa saya tidak akan bisa selamat dari murka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama-lamanya. Maka saya bertekad untuk berkata
sejujurnya. Pagi harinya Rasulullah datang. Seperti biasanya, jika baru pulang
dari safar, beliau datang ke masjid dan shalat dua raka’at.
Ka’ab menyebutkan satu perubatan sunnah yang hampir
terlupakan, atau sudah terlupakan oleh banyak kaum muslimin, yaitu shalat dua
raka’at di masjid, ketika baru datang dari perjalanan jauh.
Ka’ab juga menceritakan sikap orang-orang munafiq, mereka
berdusta dan berpura-pura, lalu menguatkan dusta mereka itu dengan sumpah,
sehingga tidak ada alasan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kecuali menerima alasan dan menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah Azza wa
Jalla Yang Mengetahui perkara ghaib, Dia Maha Tahu pengkhianatan mata dan juga
Tahu yang terbetik dalam hati. Sedangkan Ka’ab, dengan ilmunya, dia mengetahui bahwa
dusta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bisa
menyelamatkannya dari murka Allah dan RasulNya, walaupun didukung dengan
sumpah. Dia mengetahui itu semua berkat taufiq dari Allah. Lalu dia menjelaskan
penyebab ketidak ikutannya dengan benar.
Ketiga : Ka’ab
berkata: Genap sudah limapuluh malam masa pengucilan saya. Pagi harinya saya
melakukan shalat shubuh di tingkat atas rumahku. Ketika saya duduk dalam
keadaan yang telah diceritakan Allah, dada saya terasa sempit, dunia terasa sempit
padahal luas, tiba-tiba saya mendengar orang berteriak di atas
ketinggian,”Wahai Ka’ab Bin Malik, bergembiralah!” Saya segera bersujud
(bersyukur). Saya tahu, pasti telah datang masa bahagia.
Ka’ab berkata,“Setelah shalat subuh, Rasulullah memberitahukan
kepada jama’ah, bahwa Allah telah menerima taubat kami. Lalu para sahabat
menyampaikan berita gembira itu kepada kami. Ada yang pergi kepada kedua
temanku, ada yang bergegas ke saya dengan mengendarai kuda. Ada juga yang dari
Aslam datang kepadaku, dia menaiki gunung (lalu berteriak), suaranya jauh lebih
cepat dibandingkan kuda.
Ketika orang yang saya dengar suaranya itu sampai kepadaku,
baju yang saya kenakan saya lepas dan saya pakaikan padanya, sebagai balasan
kabar gembira ini. Demi Allah, saya tidak punya pakaian yang lain saat itu.
Saya meminjam dua potong pakaian, lalu berangkat menemui Rasulullah. Para
sahabat berkelompok-kelompok menemuiku, seraya berucap,”Selamat atas
diterimanya taubatmu oleh Allah,” sampai saya masuk masjid. Disana Rasulullah
sedang duduk bersama para sahabat. Thalhah Bin Ubaidillah bangkit, menyalamiku
dan mengucapkan selamat. Demi Allah, tidak ada seorang Muhajirin pun yang
berdiri selain Thalhah.
Abdullah bin Ka’ab berkata,”Ka’ab Bin Malik tidak pernah
melupakan sambutan Thalhah.”
Ka’ab Bin Malik berkata: Ketika saya mengucapkan salam
kepada Rasulullah, dengan wajah ceria tanda bahagia, Rasul bersabda.
أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ
“Aku sampaikan kabar gembira kepadamu dengan hari yang paling
baik sejak kamu dilahirkan ibumu.”
Akupun bertanya,”Apakah ini dari engkau, ataukah dari
Allah?” Beliau menjawab,”Bukan dariku, tetapi dari Allah.” Dan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bahagia, wajahnya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersinar bagaikan belahan bulan.
Ka’ab bin Malik bercerita: Kami tahu tanda kebahagian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Setelah duduk di hadapan beliau, saya
mengatakan,”Wahai Rasulullah, diantara bentuk taubatku adalah melepaskan
kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya!” Beliau
menjawab,”(Jangan), tahanlah sebagian hartamu! Itu lebih baik buatmu.” Ka’ab
bekata,”Saya katakan,’Saya menahan hartaku yang di Khaibar.’
Ka’ab mengakui secara jujur penyebab ketidak ikutannya
dalam perang Tabuk. Begitu juga yang dilakukan dua sahabatnya: Murarah Bin
Rabi’ dan Hilal Bin Umayyah. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada kaum muslimin
untuk memutuskan komunikasi dengan mereka dan mengisolir mereka. Para sahabat
melaksanakan perintah itu, meskipun diantara mereka termasuk keluarga dekat.
Ini semua mereka lakukan dalam rangka mentaati Allah dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pemutusan komunikasi terus berlanjut, sementara wahyu dari
Allah belum juga turun. Ujian dan masa-masa sulit itu berlangsung selama
limapuluh hari.
Berita pemboikotan ini tersebar sampai ke telinga penguasa
Nasrani Ghasan. Dia menyangka, ini merupakan kesempatan untuk memalingkan Ka’ab
dan mengajaknya bergabung bersama mereka, untuk memuliakan Ka’ab –menurut
mereka. Namun keimanannya kepada Allah serta RasulNya, (dia) menolak tawaran
syaitani ini. Dan Ka’ab juga menyadari, bahwa ini juga sebentuk ujian.
Sebagaimana diceritakan Ka’ab, bahwa masa sulit ini
berakhir pada hari ke limapuluh dengan diterimanya taubat mereka oleh Allah. Sementara
kondisi mereka –sebagaimana cerita Ka’ab- sebagaimana Allah sebutkan dalam Al
Qur’an, jiwa terasa sesak dan bumi terasa sempit padahal luas.
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat bahagia dengan karunia yang Allah berikan kepada kawan-kawan mereka,
yaitu berupa penerimaan taubat, diridhai Allah dan RasulNya. (Mendengar ini),
para sahabat berlomba-lomba memberikan ucapan selamat. Ada diantara mereka yang
pergi dengan jalan kaki, sehingga ia terlambat, lalu naik ke gundukan barang
dan berteriak sehingga suaranya mendahului sahabat yang pergi ke Ka’ab dengan
menunggang kuda. (Ketika) Ka’ab pergi menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, di tengah perjalanan para sahabat memberikan ucapan selamat
kepadanya. Kemudian dia menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wajah beliau bersinar penuh bahagia. Beliau bersabda,”Aku menyampaikan kabar
gembira kepadamu dengan hari yang paling baik sejak kamu dilahirkan ibumu.”
Bagaimana tidak?! Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyelamatkannya dari
kebinasaan, berkat kejujurannya. Sungguh, ini merupakan hari yang lebih baik
dari hari bai’atnya ketika masuk Islam, yang merupakan peristiwa yang lebih
dicintainya daripada ikut perang Badr. Karena sangat bahagia dengan taubat dan
nikmat dari Allah ini kepadanya, ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, diantara
bentuk taubatku adalah kulepaskan kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan
RasulNya.” Harta ini yang menyebabkannya tidak ikut dalam jihad. (Demikian) ini
merupakan bukti lain dari kejujuran taubat dan kesungguh-sungguhannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tahanlah
sebagian hartamu” Lalu, apa yang diperbuat Ka’ab? Dia melepaskan semua hartanya
yang di Madinah dan menyisakan yang di Khaibar, yang mungkin tidak menjadi
penyebab absennya dalam jihad.
Keempat : Kemudian
Ka’ab memberitahukan faktor utama keselamatannya yaitu,”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya diselamatkan Allah berkat kejujuran, dan sungguh diantara
bentuk taubatku adalah tidak akan berbicara pada sisa umurku, kecuali berbicara
dengan jujur.”
Lalu ia melanjutkan ceritanya: Demi Allah, sejak saya
bercerita jujur kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang
ini, saya tidak pernah mengetahui seorang muslimin pun yang diuji Allah dengan ujian
yang lebih baik daripada ujian Allah kepadaku. Demi Allah, sejak saat itu, saya
tidak pernah sengaja berbuat dusta sampai sekarang ini. Dan sungguh saya
berharap, agar Allah menjaga saya pada usia yang masih tersisa. Kemudian Allah
berfirman (yang artinya): Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka,
padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh
mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa)
Allah, melainkan kepadaNya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah,
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. [At Taubah:118-119].
Ka’ab berkata: Demi Allah, Allah tidak memberikan nikmat
yang lebih agung kepada saya setelah Islam, selain nikmat kejujuran saya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga saya tidak berbuat dusta
yang menyebabkan saya celaka sebagai para pendusta itu. Sesungguhnya Allah Azza
wa Jalla berfirman kepada para pendusta dengan firman yang sangat jelek. Allah
berfirman (artinya): Kelak mereka bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila
kamu kembali kepada meraka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka
berpalinglah kepada mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan
tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika
sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha
kepada orang-orang yang fasik itu. [At Taubah:95-96]
Demikian ini balasan bagi para pendusta, meskipun dusta
mereka itu hanya sekedar mencari muka dan alasan. Akan tetapi istighfar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak berguna untuk
mereka, baik ketika mereka masih hidup ataupun ketika mereka sudah meninggal.
Allah berfirman.
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْلاَتَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِن تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ
سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَن يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا
بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan
ampun kepada mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi
mereka tujuhpuluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada
mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”. [At Taubah:80].
Dalam kisah ini terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
tidak membersihkan jiwa mereka dengan tauhid, iman, berlaku jujur dan amal
shalih. Dan terkadang ada diantara para pendusta ini berkeyakinan, bahwa
perbuatan bohong dan perbuatan menipu yang mengakibatkan Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam memaafkan mereka dan memohonkan ampun buat mereka, ini semua
akan menyelamatkan mereka dari adzab Allah dan penghinaan Allah di dunia dan
akhirat. (Bahkan sebaliknya, pent.) Allah hancurkan angan-angan mereka itu dan
Allah menyiksa mereka di dunia dan akhirat. Dan istighfar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mereka, sama sekali tidak bermanfaat.
Kenyataan ini dijelaskan Allah dalam surat At Taubah dan
lain-lainya. Kemudian dipertegas dengan sabda Rasulullah kepada kaum Quraisy
dan anggota keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Belilah
(bebaskanlah) diri kalian dari (adzab) Allah, saya tidak akan bisa memberikan
manfaat sedikitpun buat kalian dari sisi Allah.”
Maka waspadalah orang-orang yang dusta –kapanpun dan di
manapun- dalam iman, keyakinan, perkataan dan persaksian-persaksian mereka!
Kedustaan ini telah menyeret kepada kebinasaan, (sebagaimana) yang menimpa para
pendusta terdahulu.
Disini juga terdapat kabar gembira bagi orang-orang yang
jujur dalam iman, Islam, perbuatan, ucapan dan persaksian mereka, dengan
terhindar dari kebinasaan; sebagaimana Ka’ab dan kedua sahabatnya Radhiyallahu
‘anhum. Mereka selamat berkat kejujuran, pada saat kondisi menuntut orang yang
lemah iman dan berjiwa lemah untuk berbuat dusta. Allah berfirman.
قَالَ اللهُ هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ
جَنَّاتُُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا رَّضِيَ
اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Allah berfirman:”Ini adalah suatu hari yang bermanfaat
bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha
terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadapnya. Itulah keberuntungan yang
paling besar”. [Al Maidah:119].
BUAH KEJUJURAN : KEBERUNTUNGAN
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari-Muslim, dari Thalhah bin Ubaidillah, ia mengatakan: Ada seorang lelaki dari Najd datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambut acak-acakan. Kami mendengar gema suaranya, tetapi kami tidak faham, sampai ia mendekat kepada Rasulullah. Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah bersabda,”(Islam itu) shalat lima kali sehari-semalam.” Orang itu bertanya,”Apakah ada kewajiban (shalat) lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Dan puasa Ramadhan.” Dia bertanya,”Apakah ada kewajiban (puasa) lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.”
Thalhah mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan zakat, orang itu bertanya,”Apakah ada kewajiban (zakat)
lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau
melaksanakan yang sunnah.”
Thalhah mengatakan: Kemudian orang itu pulang sambil
berkata,”Demi Allah, saya tidak akan menambah dan juga tidak akan
menguranginya.” Rasulullah bersabda.
أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
“Dia beruntung, jika ia jujur”
Dalam kitab Shahih Muslim terdapat hadits dari Anas bin
Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sesungguhnya kami dilarang bertanya
kepada Rasulullah tentang sesuatu. Dan kami sangat heran pada kedatangan seorang
laki-laki badui menghadap Rasulullah, seraya bertanya,”Wahai Rasulullah,
seorang utusanmu telah mendatangi kami dan mengatakan, bahwa engkau mengaku
diutus Allah.” Rasulullah bersabda,”Dia benar.” Orang itu bertanya,”Siapakah
yang menciptakan langit?” Rasulullah n menjawab,”Allah.” Orang itu bertanya
(lagi),”Siapakah yang menciptakan bumi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,”Allah.” Orang itu bertanya (lagi),“Siapakah yang menancap
gunung dan menciptakan semua yang ada di sana?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab,”Allah.” Lelaki tadi mengatakan,”Demi Dzat yang menciptakan
langit, bumi dan yang menancapkan gunung, apakah Allah (yang benar-benar)
mengutusmu?” Rasul menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa
wajib atas kami untuk shalat lima kali sehari-semalam.” Rasulullah
menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu,
apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib
atas kami zakat dari harta kami.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu
bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu
melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya.” Lelaki itu
berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami untuk puasa bulan
Ramadhan dalam setahun.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya
lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan
ini?” Beliau n menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa
wajib atas kami untuk haji bagi siapa saja yang mampu.” Rasulullah
menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu,
apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,”Ya.”
Anas Radhiyallahu ‘anhu berkata: Kemudian orang itu pergi
dan berkata,”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan
menambah dan tidak menguranginya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ
Jika ia jujur, pasti dia akan masuk syurga.
Kedua penanya dalam hadits di atas adalah orang cerdas.
Keduanya telah diberi Allah kecerdasan, kecerdikan dan pertanyaan yang baik,
terutama penanya yang kedua. Ada yang mengatakan, ia adalah Dhamam Bin
Tsa’labah Al Hudzali. Orang pertama bertanya tentang syariat Islam. Maka
Rasulullah menjawab dengan hal-hal yang diwajibkan atas seorang hamba, berupa
rukun agama ini setelah syahadatain. Karena sang penanya zhahirnya seorang
muslim, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa Islam itu
adalah kewajiban-kewajiban (yang telah disebutkan) ini.
Sang penanya pertama ini, juga mengakui hal serta konsisten
melaksanakannya. Karenanya, ia ingin tahu, adakah kewajiban lain disamping
rukun-rukun yang telah disebutkan ini? Dan Rasul menjawab, tidak ada, kecuali
perbuatan sunnah.
Ketika Rasulullah telah membedakan antara yang wajib dengan
yang sunnah, sang penanya tadi bersumpah, bahwa ia tidak akan menambah dan juga
tidak akan mengurangi. (Mendengar sumpah ini), Rasulullah menjawab untuk
memberikan kabar gembira berupa pahala yangbesar bagi si penanya dan umat Islam
yang melaksanakan kewajiban-kewajiban ini dengan benar, dia beruntung, jika ia
jujur. Maksudnya, perbuatannya sejalan dengan perkataannya. Inilah sebuah
kejujuran. Jadi keberuntungan terwujud dari kejujurannya dalam berbuat dan
berkata. Dan penanya pertama ini sudah diberi kejujuran oleh Allah.
Sedangkan penanya kedua, pertanyaannya lebih dalam dan luas
dibandingkan dengan pertanyaan orang pertama. Penyusun kitab At Tahrir, yaitu
Muhammad Bin Ismail Al Asfahani mengatakan,“Ini menunjukkan baiknya pertanyaan
orang ini, keindahan kalimat dan urutannya. Dia pertama kali menanyakan tentang
kejujuran utusan yang ditugaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengajak mereka masuk Islam; “Apakah ia jujur, bahwa engkau utusan Allah?”
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia benar.” Kemudian orang itu
bertanya tentang pencipta langit dan bumi dan siapakah yang menancapkan
gunung-gunung, karena orang ini seperti halnya orang Arab lainnya yang beriman
kepada tauhid rububiyah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab setiap
pertanyaan dengan kalimat Allah.
Kemudian, orang itu memastikan kebenaran syari’at-syari’at
Islam yang disampaikan oleh utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seperti: shalat, zakat dan puasa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, dia benar.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
selesai menjawab pertanyaan-pertanyaannya, orang itu berkata,”Demi Dzat yang
telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menambah dan tidak
menguranginya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika ia
jujur, pasti dia akan masuk syurga.”
Alangkah besarnya buah kejujuran ini ; jujur dalam i’tiqad,
jujur dalam berbicara dan dalam beramal.
Ini adalah sebagian manfaat kejujuran. Kejujuran akan
membimbing si pelaku kepada bir (perbuatan taat) di dunia yang merupakan induk
perbuatan baik, dan juga akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah
Azza wa Jalla. Jadi orang-orang yang jujur akan kekal di surga. Mereka
mendapatkan kesenangan yang sangat diidamkan, yang melebihi kedudukan ini,
yaitu keridhaan Allah.
Perbuatan jujur membimbing si pelaku kepada perbuatan bir,
kemudian ke syurga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى
الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing ke perbuatan bir,
dan perbuatan bir akan membimbing masuk surga”.
Di antara manfaat kejujuran, ialah mendapatkan ridha Allah,
kemudian akan dimasukkan ke dalam surga. Allah berfirman, yang artinya: ” Ini
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.
Bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha
terhadapnya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. [Al Maidah:119].
Berbahagialah orang-orang yang jujur. Semoga Allah dengan
karunia dan rahmatNya, menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Dermawan dan Maha Pemurah.
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
0 komentar:
Posting Komentar