السلام عليكم ورحمة الله وبركاته ان الحمد لله الذى أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله. أرسله بشيرا ونذيرا وداعيا الى الله باذنه وسراجا منيرا. أشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له. شهادة اعدها للقائه ذخرأ. واشهد ان محمدا عبده و رسوله. ارفع البرية قدرا. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه وسلم تسليما كثيرا. أما بعد. فياأيها الناس اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وأنتم مسلمون
MADRASAH IBTIDAIYAH AL - ISTIQOMAH JL. KRAMA YUDHA NO.1 PETUKANGAN RT.009 RW.005 KEL. RAWA TERATE KEC. CAKUNG JAKARTA TIMUR 13920, TELP. (021) 4612948. KAMI UCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DIBLOG MADRASAH IBTIDAIYAH AL - ISTIQOMAH , KRITIK DAN SARAN PARA PEMBACA DALAM RANGKA MENDUKUNG PROGRAM PEMBELAJARAN YANG LEBIH MEMAJUKAN SANGAT KAMI HARAPKAN .

Selasa, 10 Desember 2013

JUJUR

Posted by http://misalistiqomah.blogspot.com/ On 12/10/2013 12:22:00 AM | No comments

Mukadimah
Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”
Definisi Jujur
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah : secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)
Keutamaan Jujur
Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”
Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.
Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.
Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.
Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.
Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS. al-Maidah: 119)
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”
Macam-Macam Kejujuran
  1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
  2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
  3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
    “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
  1. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”
  2. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya.
Khatimah
Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,
“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)
Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)
Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.
Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)
Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah,
“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)
Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)
Referensi:
  1. Makarimul-Akhlaq, karya Syakhul-Islam Ibn Taimiyah ; cet. Ke-1. 1313 ; Dar- alkhair, Bairut, Libanon.
  2. Mukhtashar Minhajul-Qashidin, karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Maktabah Dar Al-Bayan, Damsiq, Suria.
  3. Mukhtarat min Al-Khutab Al-Mimbariah, karya Syaikh Shalih ibn Fauzan ; cet. Ke – 1, Jam’iayah Ihya’ At-Turats Al-Islamy.
  4. Syarh Riyadhus As-Shalihin, karya Syaikh Mahammad ibn Shalih Al-Utsaimin ; cet – 1 ; Dar- Wathan, Riyadh, KSA.
(Diambil dari majalah Fatawa)
***

Imam Muslim dalam Shahihnya membawa sebuah atsar dari Yahya bin Abi Katsir,
لاَ يُسْتَطَاعُ العِلْمِ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Tidaklah didapatkan ilmu dengan jasad yang santai.”
Maka ini seolah-olah menjadi sebuah kaidah bahwa barangsiapa yang menginginkan untuk Allah Azza wajalla memberikan kepadanya ilmu agama hendaknya ia tidak bersantai diri, karena semua membutuhkan perjuangan.
Jujur
Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia. Kehidupan dunia tidak akan baik, dan agama juga tidak bisa tegak di atas kebohongan, khianat serta perbuatan curang. Berbahagialah orang-orang yang jujur. Semoga Allah dengan karunia dan rahmatNya, menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Dermawan dan Maha Pemurah.
Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia. Kehidupan dunia tidak akan baik, dan agama juga tidak bisa tegak di atas kebohongan, khianat serta perbuatan curang.
Jujur dan mempercayai kejujuran, merupakan ikatan yang kuat antara para rasul dan orang-orang yang beriman dengan mereka. Allah berfirman.
وَالَّذِي جَآءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ لَهُم مَّايَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَآءُ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Rabb mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik”. [Az zumar:33-34].
Karena (tingginya) kedudukan perbuatan jujur di sisi Allah, juga dalam pandangan Islam serta dalam pandangan orang-orang beradab dan juga karena akibat-akibatnya yang baik, serta bahaya perbuatan bohong dan mendustakan kebenaran; saya ingin membawakan naskah ini. Saya ambil dari Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejarah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejarah dan kenyataan hidup orang-orang jujur dari kalangan shahabat Rasulullah. Dan hanya kepada Allah, saya memohon agar menolong dan memberikan taufiq kepada saya dalam menyampaikan nasihat dan penjelasan kepada kaum muslimin semampu saya. Dan saya memohon kepada Allah, agar Ia menjadikan kita orang-orang jujur yang bertekad memegang teguh kejujuran, serta menjadikan kita termasuk orang orang yang cinta kebenaran, mengikutinya serta mengimaninya. Karena keagungan nilai dan kedudukan perbuatan jujur di sisi Allah dan di sisi kaum muslimin, Allah menyifatkan diriNya dengan kejujuran (benar-pent). Allah berfirman.
قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:”Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik”. [Ali Imran :95]
Ini adalah pujian dari Allah untuk diriNya dengan sifat agung ini. Allah jujur (benar-pent) dalam semua beritaNya, syari’ahNya, dalam kisah-kisahNya tentang para nabi dan umat-umat mereka. Allah berfirman.
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ حَدِيثًا
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah”. [An Nisa:89].
وَعْدَ اللهِ حَقًّا وَمَنْ أَصْدَقُ مِّنَ اللهِ قِيلاً
“Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah”. [An Nisa :122].
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
“Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”. [Al An’am:146].
Demikianlah Allah menyifatkan diriNya dengan sifat agung ini. Dia jujur dalam ucapan, perbuatan, janji, ancaman dan jujur dalam pemberitaan tentang kehidupan para nabi dan para wali-waliNya serta Allah jujur dalam pemberitaan tentang musuh-musuhNya yang kafir.
Allah juga menyifatkan para nabiNya dengan sifat jujur. Lalu Dia mendukung para nabi itu dengan mukjizat dan tanda-tanda agung sebagai bukti kejujuran (kebenaran) mereka, dan untuk menghancurkan kebohongan para musuh Allah.
Diantara bentuk dukungan terbesar Allah kepada para nabi, ialah pemusnahan musuh-musuh Allah dengan topan, angin ribut, petir, gempa bumi, ada yang di tenggelamkan ke tanah dan air. Sementara para nabi dan pengikut mereka diselamatkan. Semua ini merupakan bukti dari Allah atas kejujuran para nabiNya, bahwa mereka benar utusanNya dan (sebagai) penghinaan kepada musuh Allah dan musuh para rasul.
Diantara para nabi yang disifati dengan sifat jujur dalam Al Qur’an, yaitu: Ibrahim, Ismail dan Idris. [1] Allah menyifatkan mereka dengan sifat jujur. Ini menunjukkan kokohnya sifat itu pada diri mereka. Dan bahwasanya perkataan, perbuatan, janji serta perjanjian-perjanjian mereka, semuanya tegak di atas kejujuran.
Semua ayat dalam Al Qur’an, yang dengannya Allah menantang manusia dan jin untuk membuat yang serupa dengannya -namun mereka tidak bisa- merupakan bukti terbesar atas kejujuran Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dia benar-benar Rasulullah dan penutup para nabi. Dan persaksian Allah bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam penutup para nabi, juga merupakan bukti besar atas kejujurannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak ada seorangpun yang mengaku menjadi nabi setelah beliau, kecuali pasti Allah Azza wa Jalla membuka kedoknya dan menyingkapkan aib serta kebohongannya. Bahkan tidak ada seorangpun yang berdusta atas nama beliau dengan membawakan sebuah perkataan yang disandarkan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan pasti Allah membuka kedoknya dengan penjelasan para pengikut risalahnya yang jujur, yaitu para ahli hadits dan yang lainnya.
Allah berfirman, dalam memujinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran serta kejujuran yang beliau bawa.
بَلْ جَآءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
“Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan raul-rasul (sebelumnya)”. [As Shaffat:37].
Kedudukan yang tinggi ini, Allah Azza wa Jalla berikan kepada hamba sekaligus rasulNya ; Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla juga menerangkan sifat hamba-hambaNya yang beriman, yang jujur dalam keimanan, perbuatan, perjuangan dan perjanjian-perjanjian mereka.
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. [Al Baqarah:177].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. [Al Hujurat:15].
Allah juga berfirman memuji Muhajirin yang faqir dan semua sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Mereka) merupakan orang-orang jujur ; Anshar ataupun Muhajirin.
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.Mereka itulah orang-orang yang benar”. [Al Hasr : 8].
Dan sungguh semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapat pengakuan dan pujian dari Allah dalam Al Qur’an. Mereka juga dipuji oleh Rasulullah n dalam banyak hadits.
Diantara sifat mereka yang paling nampak dan jelas ialah kejujuran. Agama tidak akan bisa tegak, begitu juga dunia tidak akan baik, kecuali dengan sifat ini. Para shahabat yang jujur ini serta para pewaris mereka telah menyampaikan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya kepada kita dengan penuh kejujuran serta amanah.
Para ulama juga menukilkan buat kita sejarah kehidupan para sahabat Radhiyallahu anhum, perlombaan mereka dalam kebaikan dan kebaikan mereka (lainnya) yang mengungguli semua umat. Jadilah mereka umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia.
Kita sudah faham pujian Allah kepada mereka secara umum dengan sifat-sifat terpuji. Diantaranya adalah kejujuran. Dan makalah saya ini, tidak akan cukup untuk menyebutkan semua hadits shahih tentang fakta-fakta kejujuran mereka. Namun saya akan menyebutkan kisah tiga orang shahabat sebagai contoh. Kisah mereka terkumpul dalam satu kejadian. Dan sahabat yang paling menonjol diantara tiga orang tersebut adalah Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ; seorang sahabat yang diselamatkan dari neraka, kemunafikan, murka Allah dan murka RasulNya berkat kejujurannya. Kisah sahabat ini sudah sangat terkenal. Haditsnya juga masyhur dan panjang. Karena keterbatasan tempat, saya akan memilih dan menyampaikan potongan-potongan hadits ini, yang menunjukkan kedudukan sahabat ini beserta temannya dalam peristiwa ini, supaya kaum muslimin bisa mengambil pelajaran dan contoh dari para sahabat yang jujur ini. Kisahnya sebagai berikut.
Pertama. Dari Abdullah bin Ka’ab, beliau berkata: Saya mendengar Ka’ab Bin Malik menceritakan kisahnya ketika tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Ka’ab berkata,”Sebenarnya saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah dalam satu peperanganpun, kecuali perang Tabuk. Hanya saja, saya pernah tidak ikut perang Badr, namun pada saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela siapapun yang tidak ikut. Karena Rasulullah keluar hanya untuk meghadang kafilah (kelompok dagang) Quraisy, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertemukan mereka dengan musuhnya tanpa terduga. Dan sungguh saya telah ikut menyaksikan Bai’atul ‘Aqabah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kami berbai’at untuk Islam, dan saya tidak suka malam ’Aqabah itu disamakan dengan perang Badr, walaupun perang ini lebih sering diingat oleh manusia. Dan pengalamanku ketika tidak ikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk, bahwasanya saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih mampu dibandingkan keadaan saya sewaktu tidak ikut perang ini. Demi Allah, saya tidak pernah menyediakan dua kendaraan untuk berperang, kecuali menjelang perang Tabuk ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berperang dalam musim yang sangat panas dan akan menempuh perjalanan yang sangat jauh, serta akan menghadapi musuh yang sangat besar. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perintahnya kepada kaum muslimin agar mengadakan persiapan perang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada pengikutnya jalur perjalanan mereka. Dan kaum muslimin yang ikut Rasulullah dalam perang ini banyak sekali, sehingga tidak mungkin diingat oleh seorang penghafalpun,” Ka’ab mengatakan,”Sebagian orang yang ingin tidak ikut dalam perang ini menyangka tidak akan ketahuan, kecuali ada wahyu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan perang ini pada musim buah, sementara saya lebih cenderung kepada buah-buahan itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin telah mengadakan persiapan dan saya ingin pulang untuk persiapan. Kemudian saya pulang, tetapi saya tidak melakukan apa-apa. Saya berkata dalam hati, “Saya mampu untuk melakukan itu, jika saya mau.” Keadaan seperti itu terus berlarut sampai Rasulullah dan kaum muslimin sudah siap untuk berangkat. Keesokan harinya, Rasulullah dan kaum muslimin berangkat. Sementara saya belum siap sama sekali. Kemudian saya pulang, tetapi saya tidak juga mempersiapkan diri. Keadaan itu berlarut terus sehingga berangkatlah semua pasukan. Saya ingin berangkat menyusul mereka, seandainya saya mau berbuat, namun akhirnya saya tidak mampu berbuat apa-apa. Setelah Rasulullah berangkat perang, saya sangat sedih dan kalau keluar rumah, saya tidak mendapatkan seorang yang bisa saya jadikan panutan, kecuali orang-orang munafik atau orang-orang lemah yang mendapatkan keringanan dari Allah’.
Dalam potongan kisah ini, terdapat isyarat kedudukan Baia’tul ‘Aqabah dalam diri Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu ‘anhu. Karena bai’ah ini (artinya) banyak berfungsi sebagai pondasi yang sangat kokoh, yang mendasari hijrahnya para sahabat ke Madinah. Mendasari pertolongan dari kaum Anshar. Yang mendasari tegaknya Daulah Islamiyah. Juga mendasari jihad dan kekuatan Islam dan muslimin.
Bertolak dari bai’ah ini, peperangan terus meletus, penghancuran orang yang murtad serta pengiriman bala tentara ke beberapa penjujur alam untuk membuka mata hati dengan cahaya Islam dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya Islam. Berdasarkan hal-hal ini, Ka’ab bin Malik menyadari, betapa besar makna Bai’atul Aqabah ini, yang tidak bisa digantikan.
Ka’ab bin Malik menceritakan sebab absennya pada perang Tabuk dengan benar, dengan bahasa gamblang penuh kejujuran, keluar dari hati penuh iman. Berbeda dengan para munafiq pengecut; mereka mencari-cari alasan dusta yang kemudian disingkap Allah dalam waktu singkat. Allah menyiksa dan menempatkan mereka di neraka. (Perhatikan beberapa point berikut ini, pent.).
  1. Dia (Ka’ab bin Malik) menjelaskan dengan gamblang, ketidak ikutannya bukan karena kemiskinan atau karena fisik. Sebelum perang Tabuk, ia pernah ikut beberapa peperangan, padahal kondisinya tidak sebaik ketika perang Tabuk. Dia katakan,“Bahwasanya saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih mampu dibandingkan keadaan saya sewaktu tidak ikut perang ini. Demi Allah, saya tidak pernah menyediakan dua kendaraan untuk berperang, kecuali menjelang perang Tabuk ini.”
  2. Dia juga menyebutkan beberapa sebab yang mempengaruhi tekadnya untuk jihad, yaitu kondisi yang sangat panas, jarak perjalanan yang jauh terbentang antara Madinah dan Tabuk, serta jumlah pasukan Romawi dan orang Arab yang bersekutu dengan Romawi.
  3. Ka’ab juga menjelaskan faktor yang mungkin paling penting dari faktor absennya, yaitu baiknya musim buah. Kemudian beliau menjelaskan sesuatu yang sangat mungkin disembunyikan, namun jiwanya yang jujur menolak kebohongan itu dan menjelaskan,‘saya cenderung kepada buah-buahan itu’, maksudnya hawa nafsunya lebih cenderung kepada buah-buahan. Ini merupakan tingkat kejujuran yang sangat jarang dicapai orang.
  4. Dia menyebutkan pertarungan jiwanya, antara keinginan menyusul Rasulullah dan para mujahidin dengan keinginan untuk duduk-duduk di bawah naungan rerimbunan dan buah yang baik.
  5. Akhirnya, ia menceritakan penyesalannya dan perasaan tersiksa yang menimpanya akibat tidak ikut perang. Karena ia tidak menemukan satu panutan pun dalam hal ini, kecuali orang-orang munafiq dan beberapa orang yang mendapatkan keringanan dari Allah. Ini merupakan bukti hatinya yang tanggap dan imannya yang jujur.
Kedua : Kemudian Ka’ab bin Malik bercerita: Setelah ada berita, bahwa Rasulullah akan datang dari Tabuk, maka datanglah kesedihan saya dan hampir saja aku berdusta. Lalu saya berkata dalam hati,”Apa yang bisa menghindarkan saya dari murkanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam besok?” Saya sudah minta tolong kepada keluargaku yang cerdas untuk mencarikan alasan. Setelah ada yang mengatakan, Rasulullah hampir sampai, hilanglah niatku untuk berbohong dan saya yakin, bahwa saya tidak akan bisa selamat dari murka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama-lamanya. Maka saya bertekad untuk berkata sejujurnya.
Pagi harinya Rasulullah datang. Seperti biasanya, jika baru pulang dari safar, beliau datang ke masjid dan shalat dua raka’at, kemudian duduk untuk (keperluan) umatnya. Pada saat itu, orang-orang yang tidak ikut perang datang menyampaikan alasan dan mereka bersumpah. Jumlahnya sekitar 80. Rasulullah n menerima alasan mereka, membai’at mereka dan memohonkan ampun buat mereka, serta menyerahkan urusan batin mereka kepada Allah k .
Sewaktu saya menghadap beliau dan mengucap salam, beliau tersenyum sinis seraya berkata,”Kemarilah!” Saya mendekat dan duduk di hadapannya. Beliau bersabda kepada saya,”Apa yang menyebabkanmu tidak ikut? Bukankah engkau telah berbai’at?” Saya menjawab,”Wahai Rasulullah, demi Allah, seandainya saya duduk di hadapan penduduk dunia selain engkau, niscaya saya akan mengemukakan alasan untuk menghindarkan diri dari kemurkaannya, karena saya bisa berdebat. Tetapi demi Allah, saya tahu, seandainya saya berdusta yang membuat tuan ridha dan menerima alasan saya, namun nanti Allah akan memurkai saya lewat tuan. Dan jika saya bercerita sejujurnya, niscaya tuan akan merasa iba pada diri saya. Sungguh saya hanya mengharapkan ampunan dari Allah. Demi Allah, sesungguhnya saya tidak mempunyai alasan. Demi Allah, saya tidak pernah merasa lebih kuat dan mudah (sebelumnya) dibandingkan ketika saya tidak ikut perang bersama Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Orang ini sudah berkata jujur. Pergilah (menunggu) sampai Allah memberikan keputusan tentangmu.” Sayapun berdiri dan pergi.
Dalam potongan hadits di atas, Ka’ab menyebutkan posisinya yang baru, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para mujahidin pulang membawa kemuliaan, kemenangan dan pahala. Manfaat apakah yang diperoleh Ka’ab dari ketertinggalannya itu, meskipun penyebab tidak ikutnya adalah (karena) musim buah-buahan? Dan siapakah figur selain orang-orang munafiq dan kaum muslimin yang lemah? Hati Ka’ab Bin Malik meradang karena rasa menyesal.
Pada saat yang sama, syetan berbicara dan membisikkan kata-kata bohong. Akan tetapi, berkat karunia Allah dan pemeliharaanNya, (maka) niat bohong dan kebathilan telah lenyap dari hatinya, karena kelurusan iman dan keikhlasannya. Lalu Allah membimbingnya ke arah faktor keselamatan terbesar setelah iman, yaitu kejujuran -terutama ketika (menghadapi) bahaya dan kejadian-kejadian yang menakutkan.
Dan perkataan Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu ‘anhu : Setelah ada yang mengatakan, Rasulullah hampir sampai, hilanglah niatku untuk berbohong dan saya yakin, bahwa saya tidak akan bisa selamat dari murka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama-lamanya. Maka saya bertekad untuk berkata sejujurnya. Pagi harinya Rasulullah datang. Seperti biasanya, jika baru pulang dari safar, beliau datang ke masjid dan shalat dua raka’at.
Ka’ab menyebutkan satu perubatan sunnah yang hampir terlupakan, atau sudah terlupakan oleh banyak kaum muslimin, yaitu shalat dua raka’at di masjid, ketika baru datang dari perjalanan jauh.
Ka’ab juga menceritakan sikap orang-orang munafiq, mereka berdusta dan berpura-pura, lalu menguatkan dusta mereka itu dengan sumpah, sehingga tidak ada alasan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali menerima alasan dan menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah Azza wa Jalla Yang Mengetahui perkara ghaib, Dia Maha Tahu pengkhianatan mata dan juga Tahu yang terbetik dalam hati. Sedangkan Ka’ab, dengan ilmunya, dia mengetahui bahwa dusta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bisa menyelamatkannya dari murka Allah dan RasulNya, walaupun didukung dengan sumpah. Dia mengetahui itu semua berkat taufiq dari Allah. Lalu dia menjelaskan penyebab ketidak ikutannya dengan benar.
Ketiga : Ka’ab berkata: Genap sudah limapuluh malam masa pengucilan saya. Pagi harinya saya melakukan shalat shubuh di tingkat atas rumahku. Ketika saya duduk dalam keadaan yang telah diceritakan Allah, dada saya terasa sempit, dunia terasa sempit padahal luas, tiba-tiba saya mendengar orang berteriak di atas ketinggian,”Wahai Ka’ab Bin Malik, bergembiralah!” Saya segera bersujud (bersyukur). Saya tahu, pasti telah datang masa bahagia.
Ka’ab berkata,“Setelah shalat subuh, Rasulullah memberitahukan kepada jama’ah, bahwa Allah telah menerima taubat kami. Lalu para sahabat menyampaikan berita gembira itu kepada kami. Ada yang pergi kepada kedua temanku, ada yang bergegas ke saya dengan mengendarai kuda. Ada juga yang dari Aslam datang kepadaku, dia menaiki gunung (lalu berteriak), suaranya jauh lebih cepat dibandingkan kuda.
Ketika orang yang saya dengar suaranya itu sampai kepadaku, baju yang saya kenakan saya lepas dan saya pakaikan padanya, sebagai balasan kabar gembira ini. Demi Allah, saya tidak punya pakaian yang lain saat itu. Saya meminjam dua potong pakaian, lalu berangkat menemui Rasulullah. Para sahabat berkelompok-kelompok menemuiku, seraya berucap,”Selamat atas diterimanya taubatmu oleh Allah,” sampai saya masuk masjid. Disana Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat. Thalhah Bin Ubaidillah bangkit, menyalamiku dan mengucapkan selamat. Demi Allah, tidak ada seorang Muhajirin pun yang berdiri selain Thalhah.
Abdullah bin Ka’ab berkata,”Ka’ab Bin Malik tidak pernah melupakan sambutan Thalhah.”
Ka’ab Bin Malik berkata: Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah, dengan wajah ceria tanda bahagia, Rasul bersabda.
أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ
“Aku sampaikan kabar gembira kepadamu dengan hari yang paling baik sejak kamu dilahirkan ibumu.”
Akupun bertanya,”Apakah ini dari engkau, ataukah dari Allah?” Beliau menjawab,”Bukan dariku, tetapi dari Allah.” Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bahagia, wajahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersinar bagaikan belahan bulan.
Ka’ab bin Malik bercerita: Kami tahu tanda kebahagian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Setelah duduk di hadapan beliau, saya mengatakan,”Wahai Rasulullah, diantara bentuk taubatku adalah melepaskan kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya!” Beliau menjawab,”(Jangan), tahanlah sebagian hartamu! Itu lebih baik buatmu.” Ka’ab bekata,”Saya katakan,’Saya menahan hartaku yang di Khaibar.’
Ka’ab mengakui secara jujur penyebab ketidak ikutannya dalam perang Tabuk. Begitu juga yang dilakukan dua sahabatnya: Murarah Bin Rabi’ dan Hilal Bin Umayyah. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memutuskan komunikasi dengan mereka dan mengisolir mereka. Para sahabat melaksanakan perintah itu, meskipun diantara mereka termasuk keluarga dekat. Ini semua mereka lakukan dalam rangka mentaati Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pemutusan komunikasi terus berlanjut, sementara wahyu dari Allah belum juga turun. Ujian dan masa-masa sulit itu berlangsung selama limapuluh hari.
Berita pemboikotan ini tersebar sampai ke telinga penguasa Nasrani Ghasan. Dia menyangka, ini merupakan kesempatan untuk memalingkan Ka’ab dan mengajaknya bergabung bersama mereka, untuk memuliakan Ka’ab –menurut mereka. Namun keimanannya kepada Allah serta RasulNya, (dia) menolak tawaran syaitani ini. Dan Ka’ab juga menyadari, bahwa ini juga sebentuk ujian.
Sebagaimana diceritakan Ka’ab, bahwa masa sulit ini berakhir pada hari ke limapuluh dengan diterimanya taubat mereka oleh Allah. Sementara kondisi mereka –sebagaimana cerita Ka’ab- sebagaimana Allah sebutkan dalam Al Qur’an, jiwa terasa sesak dan bumi terasa sempit padahal luas.
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bahagia dengan karunia yang Allah berikan kepada kawan-kawan mereka, yaitu berupa penerimaan taubat, diridhai Allah dan RasulNya. (Mendengar ini), para sahabat berlomba-lomba memberikan ucapan selamat. Ada diantara mereka yang pergi dengan jalan kaki, sehingga ia terlambat, lalu naik ke gundukan barang dan berteriak sehingga suaranya mendahului sahabat yang pergi ke Ka’ab dengan menunggang kuda. (Ketika) Ka’ab pergi menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di tengah perjalanan para sahabat memberikan ucapan selamat kepadanya. Kemudian dia menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wajah beliau bersinar penuh bahagia. Beliau bersabda,”Aku menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan hari yang paling baik sejak kamu dilahirkan ibumu.” Bagaimana tidak?! Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyelamatkannya dari kebinasaan, berkat kejujurannya. Sungguh, ini merupakan hari yang lebih baik dari hari bai’atnya ketika masuk Islam, yang merupakan peristiwa yang lebih dicintainya daripada ikut perang Badr. Karena sangat bahagia dengan taubat dan nikmat dari Allah ini kepadanya, ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, diantara bentuk taubatku adalah kulepaskan kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya.” Harta ini yang menyebabkannya tidak ikut dalam jihad. (Demikian) ini merupakan bukti lain dari kejujuran taubat dan kesungguh-sungguhannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tahanlah sebagian hartamu” Lalu, apa yang diperbuat Ka’ab? Dia melepaskan semua hartanya yang di Madinah dan menyisakan yang di Khaibar, yang mungkin tidak menjadi penyebab absennya dalam jihad.
Keempat : Kemudian Ka’ab memberitahukan faktor utama keselamatannya yaitu,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya diselamatkan Allah berkat kejujuran, dan sungguh diantara bentuk taubatku adalah tidak akan berbicara pada sisa umurku, kecuali berbicara dengan jujur.”
Lalu ia melanjutkan ceritanya: Demi Allah, sejak saya bercerita jujur kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, saya tidak pernah mengetahui seorang muslimin pun yang diuji Allah dengan ujian yang lebih baik daripada ujian Allah kepadaku. Demi Allah, sejak saat itu, saya tidak pernah sengaja berbuat dusta sampai sekarang ini. Dan sungguh saya berharap, agar Allah menjaga saya pada usia yang masih tersisa. Kemudian Allah berfirman (yang artinya): Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepadaNya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. [At Taubah:118-119].
Ka’ab berkata: Demi Allah, Allah tidak memberikan nikmat yang lebih agung kepada saya setelah Islam, selain nikmat kejujuran saya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga saya tidak berbuat dusta yang menyebabkan saya celaka sebagai para pendusta itu. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman kepada para pendusta dengan firman yang sangat jelek. Allah berfirman (artinya): Kelak mereka bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada meraka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah kepada mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu. [At Taubah:95-96]
Demikian ini balasan bagi para pendusta, meskipun dusta mereka itu hanya sekedar mencari muka dan alasan. Akan tetapi istighfar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak berguna untuk mereka, baik ketika mereka masih hidup ataupun ketika mereka sudah meninggal. Allah berfirman.
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْلاَتَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِن تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَن يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun kepada mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuhpuluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”. [At Taubah:80].
Dalam kisah ini terdapat pelajaran bagi orang-orang yang tidak membersihkan jiwa mereka dengan tauhid, iman, berlaku jujur dan amal shalih. Dan terkadang ada diantara para pendusta ini berkeyakinan, bahwa perbuatan bohong dan perbuatan menipu yang mengakibatkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan mereka dan memohonkan ampun buat mereka, ini semua akan menyelamatkan mereka dari adzab Allah dan penghinaan Allah di dunia dan akhirat. (Bahkan sebaliknya, pent.) Allah hancurkan angan-angan mereka itu dan Allah menyiksa mereka di dunia dan akhirat. Dan istighfar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mereka, sama sekali tidak bermanfaat.
Kenyataan ini dijelaskan Allah dalam surat At Taubah dan lain-lainya. Kemudian dipertegas dengan sabda Rasulullah kepada kaum Quraisy dan anggota keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Belilah (bebaskanlah) diri kalian dari (adzab) Allah, saya tidak akan bisa memberikan manfaat sedikitpun buat kalian dari sisi Allah.”
Maka waspadalah orang-orang yang dusta –kapanpun dan di manapun- dalam iman, keyakinan, perkataan dan persaksian-persaksian mereka! Kedustaan ini telah menyeret kepada kebinasaan, (sebagaimana) yang menimpa para pendusta terdahulu.
Disini juga terdapat kabar gembira bagi orang-orang yang jujur dalam iman, Islam, perbuatan, ucapan dan persaksian mereka, dengan terhindar dari kebinasaan; sebagaimana Ka’ab dan kedua sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum. Mereka selamat berkat kejujuran, pada saat kondisi menuntut orang yang lemah iman dan berjiwa lemah untuk berbuat dusta. Allah berfirman.
قَالَ اللهُ هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتُُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Allah berfirman:”Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadapnya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. [Al Maidah:119].

BUAH KEJUJURAN : KEBERUNTUNGAN

Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari-Muslim, dari Thalhah bin Ubaidillah, ia mengatakan: Ada seorang lelaki dari Najd datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambut acak-acakan. Kami mendengar gema suaranya, tetapi kami tidak faham, sampai ia mendekat kepada Rasulullah. Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah bersabda,”(Islam itu) shalat lima kali sehari-semalam.” Orang itu bertanya,”Apakah ada kewajiban (shalat) lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Dan puasa Ramadhan.” Dia bertanya,”Apakah ada kewajiban (puasa) lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.”
Thalhah mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zakat, orang itu bertanya,”Apakah ada kewajiban (zakat) lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.”
Thalhah mengatakan: Kemudian orang itu pulang sambil berkata,”Demi Allah, saya tidak akan menambah dan juga tidak akan menguranginya.” Rasulullah bersabda.
أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
“Dia beruntung, jika ia jujur”
Dalam kitab Shahih Muslim terdapat hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sesungguhnya kami dilarang bertanya kepada Rasulullah tentang sesuatu. Dan kami sangat heran pada kedatangan seorang laki-laki badui menghadap Rasulullah, seraya bertanya,”Wahai Rasulullah, seorang utusanmu telah mendatangi kami dan mengatakan, bahwa engkau mengaku diutus Allah.” Rasulullah bersabda,”Dia benar.” Orang itu bertanya,”Siapakah yang menciptakan langit?” Rasulullah n menjawab,”Allah.” Orang itu bertanya (lagi),”Siapakah yang menciptakan bumi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Allah.” Orang itu bertanya (lagi),“Siapakah yang menancap gunung dan menciptakan semua yang ada di sana?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Allah.” Lelaki tadi mengatakan,”Demi Dzat yang menciptakan langit, bumi dan yang menancapkan gunung, apakah Allah (yang benar-benar) mengutusmu?” Rasul menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami untuk shalat lima kali sehari-semalam.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami zakat dari harta kami.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami untuk puasa bulan Ramadhan dalam setahun.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau n menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami untuk haji bagi siapa saja yang mampu.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya.”
Anas Radhiyallahu ‘anhu berkata: Kemudian orang itu pergi dan berkata,”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menambah dan tidak menguranginya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ
Jika ia jujur, pasti dia akan masuk syurga.
Kedua penanya dalam hadits di atas adalah orang cerdas. Keduanya telah diberi Allah kecerdasan, kecerdikan dan pertanyaan yang baik, terutama penanya yang kedua. Ada yang mengatakan, ia adalah Dhamam Bin Tsa’labah Al Hudzali. Orang pertama bertanya tentang syariat Islam. Maka Rasulullah menjawab dengan hal-hal yang diwajibkan atas seorang hamba, berupa rukun agama ini setelah syahadatain. Karena sang penanya zhahirnya seorang muslim, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa Islam itu adalah kewajiban-kewajiban (yang telah disebutkan) ini.
Sang penanya pertama ini, juga mengakui hal serta konsisten melaksanakannya. Karenanya, ia ingin tahu, adakah kewajiban lain disamping rukun-rukun yang telah disebutkan ini? Dan Rasul menjawab, tidak ada, kecuali perbuatan sunnah.
Ketika Rasulullah telah membedakan antara yang wajib dengan yang sunnah, sang penanya tadi bersumpah, bahwa ia tidak akan menambah dan juga tidak akan mengurangi. (Mendengar sumpah ini), Rasulullah menjawab untuk memberikan kabar gembira berupa pahala yangbesar bagi si penanya dan umat Islam yang melaksanakan kewajiban-kewajiban ini dengan benar, dia beruntung, jika ia jujur. Maksudnya, perbuatannya sejalan dengan perkataannya. Inilah sebuah kejujuran. Jadi keberuntungan terwujud dari kejujurannya dalam berbuat dan berkata. Dan penanya pertama ini sudah diberi kejujuran oleh Allah.
Sedangkan penanya kedua, pertanyaannya lebih dalam dan luas dibandingkan dengan pertanyaan orang pertama. Penyusun kitab At Tahrir, yaitu Muhammad Bin Ismail Al Asfahani mengatakan,“Ini menunjukkan baiknya pertanyaan orang ini, keindahan kalimat dan urutannya. Dia pertama kali menanyakan tentang kejujuran utusan yang ditugaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajak mereka masuk Islam; “Apakah ia jujur, bahwa engkau utusan Allah?” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia benar.” Kemudian orang itu bertanya tentang pencipta langit dan bumi dan siapakah yang menancapkan gunung-gunung, karena orang ini seperti halnya orang Arab lainnya yang beriman kepada tauhid rububiyah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab setiap pertanyaan dengan kalimat Allah.
Kemudian, orang itu memastikan kebenaran syari’at-syari’at Islam yang disampaikan oleh utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti: shalat, zakat dan puasa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, dia benar.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah selesai menjawab pertanyaan-pertanyaannya, orang itu berkata,”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menambah dan tidak menguranginya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika ia jujur, pasti dia akan masuk syurga.”
Alangkah besarnya buah kejujuran ini ; jujur dalam i’tiqad, jujur dalam berbicara dan dalam beramal.
Ini adalah sebagian manfaat kejujuran. Kejujuran akan membimbing si pelaku kepada bir (perbuatan taat) di dunia yang merupakan induk perbuatan baik, dan juga akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Azza wa Jalla. Jadi orang-orang yang jujur akan kekal di surga. Mereka mendapatkan kesenangan yang sangat diidamkan, yang melebihi kedudukan ini, yaitu keridhaan Allah.
Perbuatan jujur membimbing si pelaku kepada perbuatan bir, kemudian ke syurga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing ke perbuatan bir, dan perbuatan bir akan membimbing masuk surga”.
Di antara manfaat kejujuran, ialah mendapatkan ridha Allah, kemudian akan dimasukkan ke dalam surga. Allah berfirman, yang artinya: ” Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadapnya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. [Al Maidah:119].
Berbahagialah orang-orang yang jujur. Semoga Allah dengan karunia dan rahmatNya, menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Dermawan dan Maha Pemurah.
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم



0 komentar:

Translate